Curahan Hati Seorang Purnawirawan Jendral Soal Aktivis Mahasiswa Kini yang “Melempem”!
Selasa, 17 Mei 2016
Topeta - Renungan Dr. Iswandi Syahputra … Mahasiswa itu tidak semuanya memilih jalan hidup menjadi aktivis. Beberapa di antara mereka ada juga yang klimis. Kepada para mahasiswa aktivis (jika sedang membahas tema tertentu, misalnya soal revolusi sosial, pergerakan massa, dll) saya sering katakan; “Belumlah sempurna menjadi seorang aktivis mahasiswa hingga dia pernah dipenjara atau dipukul popor senjata tentara”. (Bukan Hadist)
Hal ini sering saya sampaikan untuk ‘mentransfer’ nilai sejarah dan kejuangan seorang mahasiswa yang banyak dialami mantan aktivis mahasiswa lainnya, terutama di era 1990-an hingga 1998.
Saya pernah mengalami hal pahit tersebut di era Orde Baru yang sangat mendominasi berbagai sektor kehidupan. Popor senjata SS1 milik seorang prajurit ABRI saat itu sempat singgah sekejap di kening. Memang cuma sekejap, tapi jejak jendolnya tersisa hingga sekarang.
Sahabat saya Andrianto Sip lebih parah karena merasakan dinginnya tembok penjara. Berbagai tekanan serupa saya rasa juga dialami kawan Abdul Kholik
Demo mahasiswa itu pilihan sadar dengan berbagai resiko yang harus siap diterima seorang aktivis. Dengan kesadaran, demo bukan hal mudah dan murah. Tidak murah bukan terkait biaya, tapi resiko. Mahasiswa itu seperti petugas pemadam kebakaran, tidak perlu turun melakukan aksi demo hanya untuk sekedar mematikan api rokok atau lilin.
Petugas pemadam kebakaran hanya akan turun untuk mematikan api besar, bukan api kecil. Namanya saja petugas pemadam kebakaran, bukan pemadam api. Mereka jarang turun, tetapi sekali turun memadamkan api, doktrinnya jelas dipegang teguh: “Pantang Pulang Sebelum Padam”. Kalau di kalangan prajurit Kopassus memegang teguh doktrin: ” Lebih baik pulang nama daripada gagal di medan laga”.
Sebagai pilihan sadar, demo mahasiswa bukanlah ajang pencari bakat, lomba pidato atau sekedar berlatih orasi. Demo merupakan strategi perjuangan, bukan seni pertunjukkan. Memang, aksi besar dimulai dari aksi yang kecil. Tapi baik aksi besar atau kecil harus tetap memperjuangkan masalah yang besar.
Saat ini, menurut saya bangsa tengah dililit masalah besar, berupa:
1) Rupiah tidak kunjung menguat.
2) Harga kebutuhan pokok rakyat naik.
3) Pekerja asing menyerbu.
4) Hutang negara meroket.
5) Biaya pendidikan mahal.
6) Komunisme mulai bangkit.
7) Eksploitasi alam oleh asing
Ada dimana mahasiswa Indonesia?
Di pelosok hati, saya membatin:
“Mungkin mereka lagi asyik ngobrol di mall dan cafe yang memang marak tumbu di sekitar kampus. Atau letih setelah semalaman dugem di diskotik yang juga marak di sekitar kampus. Atau, mereka terpaksa sibuk dengan berbagai tugas kampus yang cenderung menerapkan pragmatisme pendidikan. Pendidikan adalah industri, kampus adalah pabrik dan mahasiswa adalah produk siap pakai…”
Tentu, setiap zaman berbeda tantangannya dan setiap tantangan perlu diselesaikan. Perlu diingat, penyelesaian tantangan pada setiap zaman akan melahirkan sejarah. Apakah kesadaran menciptakan sejarah ini telah luntur dalam diri mahasiswa?
Tentu mahasiswa sendiri yang bisa menjawabnya. Saya masih yakin, dalam diri mahasiswa masih mengalir darah segar seorang revolusioner.
Saya rindu mahasiswa berteriak lantang di jendela telinga penguasa menyanyikan mars:
Bergerak dan bersatu …
membangun Indonesia baru!
Singkirkanlah benalu …
bersihkan semua debu-debu!
Rakyat pasti menang …
MELAWAN PENINDASAN!
Rakyat kita pasti akan menang!
Rakyat pasti menang …
REBUT KEDAULATAN!
Rakyat kita pasti akan menang!
Bergerak dan bersatu …
wujudkan Indonesia baru!
Singkirkanlah serdadu …
musnahkan semua musuh-musuh!
Rakyat pasti menang …
MELAWAN PENINDASAN!
Rakyat kita pasti akan menang!
Rakyat pasti menang …
REBUT KEDAULATAN!
Rakyat kita pasti akan menang!
REVOLUSI! REVOLUSI! REVOLUSI SAMPAI MATI!!
Hal ini sering saya sampaikan untuk ‘mentransfer’ nilai sejarah dan kejuangan seorang mahasiswa yang banyak dialami mantan aktivis mahasiswa lainnya, terutama di era 1990-an hingga 1998.
Saya pernah mengalami hal pahit tersebut di era Orde Baru yang sangat mendominasi berbagai sektor kehidupan. Popor senjata SS1 milik seorang prajurit ABRI saat itu sempat singgah sekejap di kening. Memang cuma sekejap, tapi jejak jendolnya tersisa hingga sekarang.
Sahabat saya Andrianto Sip lebih parah karena merasakan dinginnya tembok penjara. Berbagai tekanan serupa saya rasa juga dialami kawan Abdul Kholik
Demo mahasiswa itu pilihan sadar dengan berbagai resiko yang harus siap diterima seorang aktivis. Dengan kesadaran, demo bukan hal mudah dan murah. Tidak murah bukan terkait biaya, tapi resiko. Mahasiswa itu seperti petugas pemadam kebakaran, tidak perlu turun melakukan aksi demo hanya untuk sekedar mematikan api rokok atau lilin.
Petugas pemadam kebakaran hanya akan turun untuk mematikan api besar, bukan api kecil. Namanya saja petugas pemadam kebakaran, bukan pemadam api. Mereka jarang turun, tetapi sekali turun memadamkan api, doktrinnya jelas dipegang teguh: “Pantang Pulang Sebelum Padam”. Kalau di kalangan prajurit Kopassus memegang teguh doktrin: ” Lebih baik pulang nama daripada gagal di medan laga”.
Sebagai pilihan sadar, demo mahasiswa bukanlah ajang pencari bakat, lomba pidato atau sekedar berlatih orasi. Demo merupakan strategi perjuangan, bukan seni pertunjukkan. Memang, aksi besar dimulai dari aksi yang kecil. Tapi baik aksi besar atau kecil harus tetap memperjuangkan masalah yang besar.
Saat ini, menurut saya bangsa tengah dililit masalah besar, berupa:
1) Rupiah tidak kunjung menguat.
2) Harga kebutuhan pokok rakyat naik.
3) Pekerja asing menyerbu.
4) Hutang negara meroket.
5) Biaya pendidikan mahal.
6) Komunisme mulai bangkit.
7) Eksploitasi alam oleh asing
Ada dimana mahasiswa Indonesia?
Di pelosok hati, saya membatin:
“Mungkin mereka lagi asyik ngobrol di mall dan cafe yang memang marak tumbu di sekitar kampus. Atau letih setelah semalaman dugem di diskotik yang juga marak di sekitar kampus. Atau, mereka terpaksa sibuk dengan berbagai tugas kampus yang cenderung menerapkan pragmatisme pendidikan. Pendidikan adalah industri, kampus adalah pabrik dan mahasiswa adalah produk siap pakai…”
Tentu, setiap zaman berbeda tantangannya dan setiap tantangan perlu diselesaikan. Perlu diingat, penyelesaian tantangan pada setiap zaman akan melahirkan sejarah. Apakah kesadaran menciptakan sejarah ini telah luntur dalam diri mahasiswa?
Tentu mahasiswa sendiri yang bisa menjawabnya. Saya masih yakin, dalam diri mahasiswa masih mengalir darah segar seorang revolusioner.
Saya rindu mahasiswa berteriak lantang di jendela telinga penguasa menyanyikan mars:
Bergerak dan bersatu …
membangun Indonesia baru!
Singkirkanlah benalu …
bersihkan semua debu-debu!
Rakyat pasti menang …
MELAWAN PENINDASAN!
Rakyat kita pasti akan menang!
Rakyat pasti menang …
REBUT KEDAULATAN!
Rakyat kita pasti akan menang!
Bergerak dan bersatu …
wujudkan Indonesia baru!
Singkirkanlah serdadu …
musnahkan semua musuh-musuh!
Rakyat pasti menang …
MELAWAN PENINDASAN!
Rakyat kita pasti akan menang!
Rakyat pasti menang …
REBUT KEDAULATAN!
Rakyat kita pasti akan menang!
REVOLUSI! REVOLUSI! REVOLUSI SAMPAI MATI!!
sumber : nyatnyut
loading...