Stop Marahi Anak Di Masjid, Ini Bahayanya...
Sabtu, 04 Juni 2016
Topeta - Anak-anak ibarat benih yang dapat tumbuh dengan baik apabila dididik dengan baik. Salah satunya adalah dengan membiasakan mereka datang ke masjid untuk belajar shalat dan belajar membaca Al-Quran.
Namun, banyak diantara jamaah atau pengurus masjid tidak sabar menghadapi anak-anak. Mereka takut kebiasaan ribut anak-anak mengganggu kekhusukkan orang yang sedang beribadah. Sehingga tidak jarang generasi penerus ini dimarahi atau diusir untuk keluar.
Padahal, Islam melarang memarahi anak-anak di masjid. Ada banyak dampak buruk yang akan dialami anak ketika orang tua melakukan ini. Tidak hanya saat masih kecil saja, efeknya akan mereka rasakan hingga dewasa.
Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam justru berinteraksi dengan anak-anak di masjid saat shalat. Perlakuan Rasulullah ini sangat berbeda jauh dengan kenyataan yang dilakukan oleh sebagian muslim terhadap anak-anak yang suka bermain di masjid.
Umar Abdul Kafi pernah bertemu dengan seorang laki-laki berusia senja. Usianya sekitar enam puluh tahun. Sosok penulis buku al-Wa’dul Haq ini tidak menemukan tanda-tanda sujud di dalam diri laki-laki yang ditemuinya tersebut.
Umar memberanikan diri untuk mengajukan sebuah pertanyaan dengan sangat hati-hati, “Kapan terakhir kali Anda menghadapkan diri kepada Allah Ta’ala?” Seraya menundukkan pandangannya, laki-laki ini berujar, “Sekitar lima puluh lima tahun silam. Saat usiaku lima tahun.”
Lelaki tersebut pun menceritakan, “Aku bergegas melakukan shalat bersama sahabat-sahabatku. Namun, ada seorang laki-laki dewasa yang mendatangiku sembari berkata ketus, ‘Enyahlah kalian! Berdirilah di sana (menunjuk arah luar masjid). Shalatlah di sana!.’”
Seketika itu juga, laki-laki itu keluar dari masjid dan tidak pernah lagi menuju masjid untuk beribadah. Selamanya. Bekas sakitnya masih tertancap kuat di dalam benak dan nuraninya karena diusir dari rumah Allah tempat ia dan teman-temannya melaksanakan sholat.
Sebagai jamaah tetap di sebuah masjid, kadang kita tidak mampu untuk bersikap bijaksana. Padahal, sikap bijaksana merupakan lambang kematangan sekaligus teladan dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam.
Kita yang sering memarahi anak-anak di masjid ketika mereka ramai, mungkin lupa dengan apa yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam. Beliau pernah turun dari mimbar untuk mendekati cucunya yang tengah berlari, lantas menggendongnya dan kembali melanjutkan khutbah.
Dalam hadist lain diceritakan bahwa saat Rasulullah sujud dalam sholat, Hasan dan Husein bermain menaiki punggung Rasulullah. Jika ada sahabat yang ingin melarang Hasan-Husein, maka Rasulullah memberi isyarat untuk membiarkannya. Apabila shalat telah selesai, Rasulullah memangku kedua cucunya itu (HR: Ibnu Khuzaimah).
Kemarahan kita bahkan semakin memuncak saat merasa paling khusyuk. Kita mengira bahwa celoteh anak-anak dan tawa kecil mereka merupakan satu-satunya sebab tercerabutnya khusysuk yang kita upayakan dengan susah payah.
Alhasil, kita dengan gegas menyalahkan sebab dan berusaha untuk segera mengenyahkannya dengan segenap kemampuan yang kita miliki sebagai orang tua. Mungkin, kita lupa. Bahwa kemarahan yang kita muntahkan amat besar peluangnya untuk menyingkirkan anak-anak dari masjid-masjid.
Padahal ketika kita benar-benar meninggal dunia, di masjid tak ada lagi yang meneruskan kebiasaan baik kita. Sebab anak-anak yang telah tumbuh dewasa itu enggan menuju masjid. Trauma lantaran kemarahan yang dahulu pernah kita lontarkan tanpa sedikit pun niat untuk menyampaikan nasihat.
Kepada Anda yang kerap melontarkan kemarahan kepada anak-anak di masjid atas nama kekhusyukan dan merasa paling layak memarahi, camkan kisah ini baik-baik. Sebab kisah ini amat nyata dan amat bisa menimpa Anda sekalian.
Jika Anda pernah melakukannya, bergegaslah untuk meminta ampun kepada Allah Ta’ala lantaran Anda telah menghalangi seorang hamba dari mendekat dan beribadah kepada-Nya. Dan yang perlu diingat, dicatat, dan diamalkan adalah sikap lemah lembut dalam menyelesaikan masalah anak-anak di masjid.
Namun, banyak diantara jamaah atau pengurus masjid tidak sabar menghadapi anak-anak. Mereka takut kebiasaan ribut anak-anak mengganggu kekhusukkan orang yang sedang beribadah. Sehingga tidak jarang generasi penerus ini dimarahi atau diusir untuk keluar.
Padahal, Islam melarang memarahi anak-anak di masjid. Ada banyak dampak buruk yang akan dialami anak ketika orang tua melakukan ini. Tidak hanya saat masih kecil saja, efeknya akan mereka rasakan hingga dewasa.
Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam justru berinteraksi dengan anak-anak di masjid saat shalat. Perlakuan Rasulullah ini sangat berbeda jauh dengan kenyataan yang dilakukan oleh sebagian muslim terhadap anak-anak yang suka bermain di masjid.
Umar Abdul Kafi pernah bertemu dengan seorang laki-laki berusia senja. Usianya sekitar enam puluh tahun. Sosok penulis buku al-Wa’dul Haq ini tidak menemukan tanda-tanda sujud di dalam diri laki-laki yang ditemuinya tersebut.
Umar memberanikan diri untuk mengajukan sebuah pertanyaan dengan sangat hati-hati, “Kapan terakhir kali Anda menghadapkan diri kepada Allah Ta’ala?” Seraya menundukkan pandangannya, laki-laki ini berujar, “Sekitar lima puluh lima tahun silam. Saat usiaku lima tahun.”
Lelaki tersebut pun menceritakan, “Aku bergegas melakukan shalat bersama sahabat-sahabatku. Namun, ada seorang laki-laki dewasa yang mendatangiku sembari berkata ketus, ‘Enyahlah kalian! Berdirilah di sana (menunjuk arah luar masjid). Shalatlah di sana!.’”
Seketika itu juga, laki-laki itu keluar dari masjid dan tidak pernah lagi menuju masjid untuk beribadah. Selamanya. Bekas sakitnya masih tertancap kuat di dalam benak dan nuraninya karena diusir dari rumah Allah tempat ia dan teman-temannya melaksanakan sholat.
Sebagai jamaah tetap di sebuah masjid, kadang kita tidak mampu untuk bersikap bijaksana. Padahal, sikap bijaksana merupakan lambang kematangan sekaligus teladan dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam.
Kita yang sering memarahi anak-anak di masjid ketika mereka ramai, mungkin lupa dengan apa yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam. Beliau pernah turun dari mimbar untuk mendekati cucunya yang tengah berlari, lantas menggendongnya dan kembali melanjutkan khutbah.
Dalam hadist lain diceritakan bahwa saat Rasulullah sujud dalam sholat, Hasan dan Husein bermain menaiki punggung Rasulullah. Jika ada sahabat yang ingin melarang Hasan-Husein, maka Rasulullah memberi isyarat untuk membiarkannya. Apabila shalat telah selesai, Rasulullah memangku kedua cucunya itu (HR: Ibnu Khuzaimah).
Kemarahan kita bahkan semakin memuncak saat merasa paling khusyuk. Kita mengira bahwa celoteh anak-anak dan tawa kecil mereka merupakan satu-satunya sebab tercerabutnya khusysuk yang kita upayakan dengan susah payah.
Alhasil, kita dengan gegas menyalahkan sebab dan berusaha untuk segera mengenyahkannya dengan segenap kemampuan yang kita miliki sebagai orang tua. Mungkin, kita lupa. Bahwa kemarahan yang kita muntahkan amat besar peluangnya untuk menyingkirkan anak-anak dari masjid-masjid.
Padahal ketika kita benar-benar meninggal dunia, di masjid tak ada lagi yang meneruskan kebiasaan baik kita. Sebab anak-anak yang telah tumbuh dewasa itu enggan menuju masjid. Trauma lantaran kemarahan yang dahulu pernah kita lontarkan tanpa sedikit pun niat untuk menyampaikan nasihat.
Kepada Anda yang kerap melontarkan kemarahan kepada anak-anak di masjid atas nama kekhusyukan dan merasa paling layak memarahi, camkan kisah ini baik-baik. Sebab kisah ini amat nyata dan amat bisa menimpa Anda sekalian.
Jika Anda pernah melakukannya, bergegaslah untuk meminta ampun kepada Allah Ta’ala lantaran Anda telah menghalangi seorang hamba dari mendekat dan beribadah kepada-Nya. Dan yang perlu diingat, dicatat, dan diamalkan adalah sikap lemah lembut dalam menyelesaikan masalah anak-anak di masjid.
sumber : infoyunik
loading...